Rabu, 04 Januari 2017

Analisis SWOT untuk Pengembangan SK dan KD




PENGGUNAAN ANALISIS SWOT
UNTUK PENGEMBANGAN SK KD DI SEKOLAH
 (Siti Halimatus Sakdiyah
Latar Belakang
        Pada saat ini, di dunia pendidikan  seluruh tanah air,  dalam menjalankan kebijakan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa baik secara kuantitatif maupun kualitatif, diwarnai oleh berbagai disparitas kemajuan pendidikan antar daerah maupun propinsi, dan pertumbuhan masyarakat yang saling dipengaruhi  dan mempengaruhi kemajuan pendidikan. Disamping itu, kondisi sosial ekonomi, budaya yang sangat berbeda dari berbagai lapisan masyarakat, menyebabkan kecepatan laju pembangunan dan tatanan kehidupan yang berbeda.
        Satu pihak know-how transfer dari berbagai teknologi yang merupakan hasil peningkatan pengetahuan atau hasil pembangunan fisik seringkali tidak diadaptasi secara bermakna di dalam lingkungannya, tetapi  karena pihak lain, dampak dari pembangunan fisik bisa bersifat negatif dan positif, dan mengakibatkan benturan berbagai nilai dalam pola pikir dan  perilaku manusia. Dinamika perkembangan masyarakat Indonesia yang memiliki dua kecenderungan paralel dengan dua kesiapan yang harus diadakan dalam menuju kepada perkembangan ahli teknologi dan  perkembangan perubahan sikap dasar yang masing-masing terutama diurusi oleh kegiatan pengajaran dan kegiatan pendidikan, dan keduanya dapat dicakup oleh konsep sistem yang menyatukan kedua tema tersebut. Kalau pada satu pihak kita memperhatikaan dua segi dari satu tema ini, maka pada pihak lain peningkatan pendidikan bersifat kuantitatif dan kualitatif yang perlu juga dibedakan (bukan dipertentangkan) strategi pengembangannya.
      Dalam memberikan kesempatan belajar kepada sebanyak mungkin manusia dalam waktu yang sesingkat mungkin, dituntut keseimbangan dari inter dan intra sektor, program maupun proyek pembangunan lainnya, dan mencakup pula keberhasilan keluarga berencana yang secara serempak dan dinamis harus saling mendukung dan meningkatkan koordinasi perencanaan sesuai dengan prioritas.
      Pada masa yang lalu tidak jarang persiapan mengajar hanya didasarkan intuisi semata. Artinya, kalau tiba-tiba saja mendapat semacam ilham, lalu sang guru dapat mempersiapkan pelajaran untuk besok pagi dengan bahan yang padat dan lancar. Tetapi karena datangnya ilham seolah-olah dari langit (tidak sepenuhnya berasal dari kurikulum resmi), maka sifatnya tidak objektif dan kadang-kadang penuh ambisi pribadi. Dalam pelaksanaan pemgajaran, orientasi pertimbangannya hanya ditekankan dari segi bagaimana metode mengajar, bukan perhatian kepada bagaimana cara belajar siswa yang semudah-mudahnya. Demikian juga guru beranggapan bahwa,asal disediakan sarana (media) pasti akan lebih baik.
       Proses belajar mengajar sebenarnya tidak semudah itu. Ini juga menjadi bukti bagi kita bahwa proses belajar mengajar adalah suatu proses yang kompleks. Proses tersebut terdiri dari banyak bagian yang saling berkaitan, tiap bagian memiliki fungsi tersendiri yang bekerja dalam suatu kaitan yang lekat agar dapat mencapai keberhasilan. Apabila kita harus mengandalkan pada salah satu komponen (subsistem) saja, maka siswa tidak akan berhasil mencapai tujuan belajar.
      Zaman sudah berubah, pola pikir sudah berkembang, kurikulum tahun 1994, tahun 2004 KBK dan tahun 2006 KTSP, Kurikulum 2013 dan kemudian ada istilah kurikulum yang disempurnakan, atau yang dikenal dengan KYD.
      Keistimewaan KYD adalah bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada daerah dan sekolah, khususnya kepada guru dan kepala sekolah untuk melakukan improvisasi terhadap kurikulum yang akan diterapkannya. Dalam hal ini para guru dan kepala sekolah diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) yang sesupai dengan kebutuhan dan karakteristik sekolah dan daerah-daerah masing-masing; bahkan menyusun sendiri kurikulum yang sesuai dengan sekolah dan daerahnya.
        Dengan demikian, setiap sekolah dan daerah bisa menggunakan kurikulum yang sama tetapi bisa juga berbeda, bergantung dari tingkat kemandirian sekolah masing-masing. Bagi daerah dan sekolah yang sudah mampu, dapat mengembangkan kurikulum sendiri, sementara bagi yang belum mandiri bisa menggunakan dan memodifikasi  kurikulum dari sekolah atau daerah lain (dengan ijin tentunya), atau bisa juga menggunakan dan memodifikasi perangkat kurikulum yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dan/ atau Pusat Kurikulum (Puskur). Meskipun pada akhirnya sudah dapat diduga bahwa kebanyakan sekolah dan daerah akan menginduk kepada kurikulum yang dikembangkan oleh Depdiknas, karena biasanya tidak mau menanggung resiko.
       Oleh karena itu, perlu ditekankan disini bahwa BSNP dan atau Puskur harus memiliki berbagai ahli kurikulum dan ahli bidang studi yang kompeten dalam menyusun kurikulum dan mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD), mereka harus memiliki kompetensi teoritis yang tinggi, dibarengi dengan pengalaman lapangan (tahu kondisi sekolah) secara mumpuni; dan yang paling penting bertanggung jawab secara moral dan spiritual. Ini merupakan prasarat yang harus dipenuhi dalam memperbaiki kualitas pendidikan nasional, agar perubahan-perubahan yang dilakukan tidak membingungkan para pelaksana di lapangan, seperti yang sudah-sudah. Perubahan juga harus benar-benar terarah, tidak asal bapak senang dan tidak asal perut kenyang.
       Hal penting lainnya yang berkaitan dengan perubahan kurikulum adalah tim evaluasi yang bertugas untuk melakukan pemantauan ke lapangan berkaitan dengan penerapan kurikulum. Tim ini perlu dibentuk untuk melakukan pemantauan secara rutin dan langsung turun ke lapangan, untuk melihat dan menganalisis SWOT, penerapan kurikulum di lapangan. Tim ini juga harus benar-benar ahli dalam bidangnya, yang mampu melihat kelemahan dan keunggulan dari kurikulum yang diterapkan di sekolah. Perbaikan ini harus  dilakukan secara terus menerus  (continuitas), sehingga menghasilkan perbaikan kurikulum yang berkesinambungan pula (continuitas quality improvement).
       Sehubungan dengan beberapa kenyataan diatas maka perlunya dikaji penggunaan SWOT untuk pengembangan SKKD di sekolah, agar kita bisa memilih dan memilah serta melaksanakannya secara efektif, efisien dan berhasilguna.

Grand Theory
PENGERTIAN SWOT
  1. Strength (Kekuatan)
a.  Yuridis Formal
       Dasar yuridis standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) merujuk pada dokumen-dokumen sebagai berkut : (1) Tap MPR Nomer IV/MPR?1999 Bab IV tentang Pendidikan; (2) Undang-undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas); (3) UU RI Nomer 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; (4) PP Nomer 25 Tahun 2000, dan Nomer 38 Tahun 1990 tentang Tenaga Kependidikan; (5) Keputusan Mendiknas Nomer 053/U/2001 tentang Pedoman Penyuluhan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan (6) PP Nomer 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP); (7) Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
b.                          Sosialisasi Yang telah Dilaksanakan
       Meskipun pemerintah telah mengemukakan bahwa tidak ada program dan jadwal khusus untuk sosialisasi kurikulum baru, tetapi seperti yang pemerintah kemukakan juga bahwa sosialisasi telah dilaksanakan dalam KBK. Ini berarti standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) tetap berpijak pada pendekatan kompetensi. Dengan demikian, perubahan kurikulum (KYD) telah tersosialisasikan pada saat sosialisasi KBK. Kondisi ini merupakan kondisi awal yang baik, karena sekolah-sekolah sudah siap untuk melakukan perubahan kurikulum.
c.   Budaya Gotong Royong dan Kemitraan
       Budaya gotong royong dan kemitraan sebagai salah satu ciri masyarakat Indonesia masih ada dan bisa dikembangkan. Gotong royong dan kemitraan ini bisa direvitalisasi untuk merealisasikan perubahan kurikulum di sekolah, sehingga masyarakat mau membantu dan memberikan masukan terhadap seluruh kegiatan pendidikan dan penerapan KYD, khususnya dalam pengembangan standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD). Dalam pada itu, budaya gotong royong juga dapat dimanfaatkan untuk menangani berbagai permasalahan di sekolah, seperti kalau ada kerusakan kecil di sekolah (bangunan sekolah), tidak perlu menunggu kucuran dana, tetapi dapat ditangani secara bersama-sama oleh masyarakat sekitar sekolah.
d.  Potensi SDM
       Hampir di setiap kabupaten dan kota telah memiliki ahli kurikulum, dan bisa dimanfaatkan dalam perubahan kurikulum dan penerapan KYD. Ke depan, semua guru dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan minimal sarjana, dan ini merupakan potensi sumberdaya manusia (SDM) yang dapat mempercepat perubahan di sekolah. SDM yang berkualitas merupakan komponen yang paling menentukan dalam setiap lembaga dan organisasi. Tanpa sumberdaya manusia, lembaga dan organisasi itu tidak akan pernah eksis. Memahami hal hal tersebut, keliru jika suatu lembaga atau organisasi hanya memperhatikan fungsi-fungsi administrasi, sebab misalnya rencana yang sudah mapan, dan dijabarkan ke dalam program yang jelas, tidak dengan sendirinya mendekatkan organisasi itu kepada tujuan yang hendak dicapai, juga tidak dengan sendirinya dapat meningkatkan kualitas proses maupun hasil, tetapi terletak pada sumberdaya manusia sebagai pelaksananya.
e.   Adanya Organisasi Formal dan Informal
       Hampir di seluruh wilayah Indonesia telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi pendidikan seperti Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Guru (KKG). Organisasi-organisasi tersebut sangat berperan dalam membantu melakukan perubahan kurikulum melalui berbagai pembinaan dan pelatihan disamping organisasi profesi lain, seperti PGRI, FKG, ISPI juga merupakan organisasi profesi yang bisa membantu memperlancar penerapan KYD di sekolah, khususnya pengembangan standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD).

  1. Weakness (Kelemahan)
a.      Kultur Birokrasi
      Budaya birokrasi yang masih dipengaruhi feodalisme dimana para pejabat dan pimpinan lebih suka dilayani daripada melayani masih tumbuh dan berkembang di sebagian besar wilayah dan masyarakat Indonesia. Kebiasaan lainnya seperti lemahnya mengambil prakarsa (inisiatif) serta selalu menunggu juklak dan juknis tidak menunjang KYD. Dalam pada itu, dalam lingkungan persekolahan perilaku manajerial kepala sekolah cenderung kurang terbuka dan kurang demokratis dalam mengelola sekolahnya. Hal ini menyebabkan kekurang percayaan dari guru terhadap kepala sekolah, sehingga dapat menurunkan semangat kerja guru.
      Disamping kurang mandirinya kepala sekolah, hambatan lain yang memperlemah kinerja kepala sekolah adalah kurang adanya sense of crisis (rasa krisis), sense of urgency (rasa penting) terhadap pentingnya mutu pendidikan, sehingga menyebabkan lemahnya sense of responsibility (rasa bertanggungjawab); sense of belonginess (rasa memiliki), yang dapat menurunkan sense of participation atau rasa untuk berpartisipasi aktif untuk memajukan sekolah.
b.      Produktivitas Sekolah Masih Rendah
      Rendahnya etos kerja dan disiplin para tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah menyebabkan rendahnya produktivitas sekolah. Salah satu indikator dari masalah ini adalah masih rendahnya prestasi belajar yang dapat dicapai peserta didik. Rendahnya prestasi belajar ini sala satunya tercermin dalam pencapaian nilai UAN (Ujian Akhir Nasional).
c.       Pudarnya Kepercayaan Masyarakat terhadap Produktivitas Sekolah
      Masih ada kecenderungan kurang percayanya masyarakat terhadap produktivitas sekolah. Sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya belum mampu melahirkan lulusan yang siap bersaing, baik untuk kerja maupun untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Seringnya ganti orang, ganti kebijakan dan kurang berhasilnya program-program inovatif dalam pendidikan, seperti Link and Match, Broad Based dan Competency Based Curriculum  menyebabkan menurun atau pudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan, terutama yang dilaksanakan oleh sekolah. Hal tersebut ditandai oleh sulitnya para lulusan sekolah juga memudarkan harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah.
d.      Lulusan Sekolah Kurang Mampu Bersaing
Lemahnya daya saing lulusan sekolah banyak disebabkan oleh mutu hasil lulusan yang belum sesuai dengan target, sehingga para lulusan masih sulit untuk bisa bekerja karena persyaratan untuk bisa diterima sebagai pegawai di suatu lembaga atau dunia usaha dan industri kian hari bertambah, yang antara lain harus menguasai bahasa Inggris dan komputer. Lulusan SLTP yang mau melanjutkan ke SLTA tiap tahun bertambah, namun kemampuan bersaing dalam ujian masuk pada umumnya masih rendah sehingga persentase mereka yang diterima di sekolah unggulan hanya sedikit.
e.       Kurangnya Sumber Belajar
      Sumber belajar seperti perpustakaan, laboratorium dan bengkel sangat menunjang kualitas pembelajaran. Namun perhatian pemerintah melengkapinya masih kurang, dan belum menjangkau seluruh sekolah. Disamping itu, walaupun pemerintah sudah melengkapi buku-buku pedoman dan buku-buku paket, namun dalam pemanfaatannya masih kurang. Banyak buku-buku paket yang belum dimanfaatan secara optimal, baik oleh guru maupun oleh peserta didik.
f.        Banyaknya Bangunan Sekolah yang Rusak
                Salah satu kenyamanan belajar peserta didik adalah bangunan sekolah dengan lingkungan yang aman dan nyaman untuk belajar. Banyaknya bangunan yang rusak atau tidak memenuhi standar, sarana dan prasarana pendidikan merupakan kelemahan pendidikan dan sekaligus menghambat penerapan kurikulum di sekolah. 

  1. Opportunities (Peluang)
  1. Adanya Lembaga BP3, Bakor BP3, Komite Sekolah, Komite Kecamatan dan Komite Kabupaten
Hampir di setiap sekolah dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan sudah terbentuk organisasi BP3. Di sebagian besar sekolah juga sudah dibentuk Komite Sekolah, Komite Kecamatan dan Komite Kabupaten. Komite Sekolah ke depan akan menjadi satu-satunya lembaga resmi yang ada. Penyederhanaan organisasi ini penting dalam rangka menerapkan aasas efektivitas dan efisiensi pendidikan.
  1. Dukungan Dunia Usaha dan Industri
      Meskipun dunia usaha dan industri sampai saat ini masih mengalami kelesuan karena dampak krisis yang berkepanjangan, namun masih bisa diharapkan untuk mendukung penerapan KYD, khususnya dalam pengembangan SKKD di sekolah. Mereka masih bisa diajak kerjasama dan diminta dukungannya dalam penerapak KYD, terutama dalam hal-hal yang menyankut praktek lapangan.
  1. Potensi Masyarakat yang Bisa Dikembangkan
      Masih banyak potensi masyarakat yang bisa dikembangkan dalam rangka menunjang penerapan KYD. Potensi masyarakat seperti ide, gagasan, pikiran, tenaga serta materi banyak yang belum optimal dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan. Dengan adanya ketentuan bahwa seluruh warga masyarakat di sekitar sekolah wajib untuk membantu pendidikan, potensi tersebut bisa diidentifikasi, serta dimanfaatkan dalam bentuk partisipasi nyata untuk membantu pendidikan. Pada masa yang akan datang hal tersebut bisa lebih berperan dalam menunjang pendidikan. Masalahnya apakah ada political will dari pemerintah untuk memasukkan dunia usaha secara bertahap ke dalam sistem pendidikan.
  1. Adanya Organisasi Profesi
      Organisasi profesi sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan seperti KPPS, K3S, KKG, MGMP serta organisasi profesi untuk seluruh guru seperti PGRI, FORMOPPI, FKG dan ISPI sudah terbentuk hampir di seluruh wilayah Indonesia, tidak saja di kota-kota besar tetapi juga di pedesaan dan pelosok-pelosok masyarakat. Organisasi profesi ini akan lebih berperan dalam kiprahnya bila kinerjanya dimaksimalkan.
  1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
      Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan memberi peluang kepada sekolah dan daerah agar lebih otonom dalam melaksanakan fungsinya, otonomi memberi peluang kepada sekolah untuk merencanakan perubahan agar mampu mandiri. Dengan penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
      Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi daerah telah membawa perubahan strategi, khususnya terhadap administrasi atau manajemen pendidikan di Indonesia. Implikasi dan pelaksanaan otonomi daerah tersebut adalah tuntutan dan produktivitas kerja, karena sumber-sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang harus digerakkan secara efektif memerlukan ketrampilan organisatoris dan teknis sehingga mempunyai tingkat hasil guna yang tinggi. Artinya, hasil yang diperoleh seimbang dengan masukan yang diolah, melalui berbagai perbaikan cara kerja, serta mengurangi pemborosan waktu dan tenaga. Dengan demikian diharapkan akan memperoleh hasil yang lebih baik, dan pencapaian tujuan akan lebih efektif.

  1. Traith (Tantangan)
  1. Globalisasi
      Globalisasi saat ini telah mempengaruhi berbagai bidang kehidupan di semua negara sehingga perlu diantisipasi dengan cepat. Pada tahun 2003 AFTA diberlakukan dan akan banyak sekali agenda perubahan yang harus segera dipersiapkan termasuk pendidikan Bahasa Inggris, misalnya sebagai bahasa komunikasi internasional akan sangat banyak diperlukan. Dengan demikian pengembangan SKKD harus mampu mempersiapkan SDM yang mengacu pada kemampuan untuk bersaing di era globalisasi. Era globalisasi merupakan era persaingan mutu atau kualitas, yang kehadirannya melanda semua negara dan bersamaan dengan masuknya abad 21. Hal ini merupakan kenyataan dalam sejarah ummat manusia, dimana pergantian abad sekaligus pergantian millenium ditandai dengan globalisasi ekonomi yang sangat pesat.
      Globalisasi ini dimungkinkan dengan semakin luasnya pemanfaatan teknologi modern (smart technology) seperti komputer, telekomunikasi dan peralatan elektronik dalam berbagai aspek kehidupan.
  1. Pergeseran Paradigma Pendidikan
      Perubahan paradigma pendidikan saat ini harus mengubah pola dari teaching (mengajar) ke learning (belajar), sehingga peserta didik harus terus didorong untuk terus menerus belajar dan belajar. Kemanapun orang untuk selalu belajar akan melahirkan orang-orang yang terus memperbaiki dirinya. Disamping itu, dengan berlakunya otonomi daerah, sekolah mempunyai keleluasaan untuk mengembangkan cara-cara belajar sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing.
  1. Rendahnya Kepercayaan Masyarakat tehadap Produktivitas Sekolah
      Masyarakat selalu ingin mendapatkan hasil pendidikan yang tinggi tetapi enggan membantu sekolah secara maksimal. Sikaap masyarakat juga kadang-kadang apriori dengan menyatakan bahwa hasil pendidikan kurang bermutu tanpa ikut serta memikirkan bagaimana caranya agar hasil pendidikan bisa lebih bermutu. Sikap semacam ini harus segera diubah karena kalau dibiarkan akan merusak citra sekolah.
  1. Perubahan Organisasi Pengelolaan Pendidikan
      Dalam otonomi daerah, pembangunan pendidikan menuntut adanya organisasi pengelola pendidikan yang efektif dan efisien. Hal tersebut menuntut peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolah.

SWOT PENGEMBANGAN SK DAN KD
No
Analisis SWOT
I n d i k a t o r
1
Kekuatan (Strength)
a. Adanya dasar yuridis formal
b. Sosialisasi yang telah dilaksanakan
c. Budaya gotong royong dan kemitraan
d. Potensi SDM
e. Adanya organisasi formal dan informal
2
Kelemahan (Weakness)
a. Kultur birokrasi
b. Produktivitas sekolah masih rendah
c. Pudarnya kepercayaan masyarakat
    terhadap produktivitas sekolah
d. Lulusan sekolah kurang mampu
    bersaing
e. Kurang sumber belajar
f. Banyaknya bangunan sekolah yang
   rusak
3
Peluang  (Opportunities)
a. Adanya BP3, Komite Sekolah
b. Adanya dukungan dunia usaha dan
    industri
c. Potensi masyarakat yang bisa
   dikembangkan
d. Adanya organisasi profesi pendidikan
e. Otonomi daerah dan desentralisasi
    pendidikan
4
Tantangan (Traith)
a. Globalisasi
b. Pergeseran paradigma pendidikan
c. Rendahnya kepercayaan masyarakat
    terhadap produktivitas sekolah
d. Perubahan organisasi pengelolaan pendidikan

MANFAAT HASIL ANALISIS SWOT
      Berbagai hasil kajian, diskusi dengan para pelaksana di lapangan, dan masukan-masukan dari berbagai ahli pendidikan yang muncul ketika seminar dan lokakarya dilakukan, maka dapat diidentifikasikan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan ancaman terhadap KYD. Upaya-upaya tersebut adalah mengubah pola pikir guru, mengaktifkan kegiatan MGMP, meningkatkan disiplin peserta didik, membentuk kelompok diskusi terbimbing, meningkatkan layanan perpustakaan dengan menambah koleksi, dan mengadakan perubahan di kelas.

1.      Mengubah Pola Pikir Guru
      Penerapan Kurikulum Yang Disempurnakan (KYD) yang efektif dan efisien, menuntut guru untuk berkreasi dalam menerapkan manajemen kelas, karena guru adalah teladan dan panutan bagi seluruh peserta didik. Oleh karena itu, guru perlu siap dengan segala kewajiban, baik yang menyangkut manajemen maupun materi pembelajaran.Guru juga harus mengorganisasikan kelasnya dengan baik, jadwal pembelajaran, pembagian tugas peserta didik, kebersihan, keindahan dan ketertiban kelas, pengatura tempat duduk, serta penempatan berbagai alat pembelajaran harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Suasana kelas yang menyenangkan dan penuh disiplin sangat diperlukan untuk mendorong semangat belajar peserta didik. Kreativitas dan daya cipta guru dalam penerapan KYD perlu terus menerus didorong dan dikembangkan.
      Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya, bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar. KYD antara lain ingin mengubah pola pendidikan dari orientasi terhadap hasil dan materi kependidikan sebagai proses. Oleh karena itu, pembelajaran harus sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi, dan kebenaran secara ilmiah. Dalam kerangka inilah perlunya perubahan paradigma (pola pikir) guru. Agar mereka mampu menjadi fasilitator, dan mitra belajar bagi peserta didiknya. Sehubungan dengan itu, untuk menyukseskan KYD perlu mengubah pola pikir guru, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Tugas guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus dilatih menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada seluruh peserta didik, agar mereka dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas dan berani mengemukakan pendapat secara terbuka merupakan modal dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang beradaptasi, menghadapi berbagai kemungkinan, dan memasuki era globalisasi yang penuh berbagai tantangan.
      Guru sebagai fasilitator sedikitnya harus memiliki 7 (tujuh) sikap seperti yang diidentifikasikan Rogers (Dalam Knowles, 1984) sebagai berikut :
a.       Tidak berlebihan mempertahankan pendapat dan keyakinannya, atau kurang terbuka;
b.      Dapat lebih mendengarkan peserta didik, terutama tentang aspirasi dan perasaannya;
c.       Mau dan mampu menerima ide peserta didik yang inovatif, dan kreatif bahkan yang sulit sekalipun;
d.      Lebih meningkatkan perhatiannya terhadap hubungan dengan peserta didik seperti halnya terhadap bahan pembelajaran.
e.       Dapat menerima balikan (feedback), baik yang sifatnya positif maupun negatif, dan menerimanya sebagai pandangan yang konstrutif terhadap diri dan perilakunya;
f.       Toleransi terhadap kesalahan yang diperbuat peserta didik selama proses pembelajaran; dan
g.      Menghargai prestasi peserta didik, meskipun biasanya mereka sudah tahu prestasi yang dicapainya.
      Dalam rangka pengembangan SKKD, dan menyiapkan guru yang siap menjadi fasilitator pembelajaran; hendaknya diadakan musyawarah antara kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pengawas sekolah dan komite sekolah untuk mengadakan pelatihan guru; bahkan kalau perlu memfasilitasi mereka untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya menempuh pendidikan pascasarjana gratis dibiayai oleh Pemda.
      Pembinaan kemampuan profesional guru juga dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada guru untuk melakukan berbagai kegiatan, memberi saran, menegur, membimbing, menjadi wakil sekolah dengan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.


2.      Revitalisasi MGMP
      Hasil penelitian tentang pengaruh guru terhadap hasil belajar peserta didik di Indonesia sangat rendah (sekitar 25%) sedangkan di Jepang mencapai 55%. Ini merupakan tantangan bagi guru dan MGMP. Jumlah guru di sekolah pada umumnya sudah cukup memadai, tetapi suasana belajar belum cukup kondusifakibat metode mengajar guru yang kurang bervariasi. Melalui MGMP diharapkan persoalan dapat diatasi, termasuk bagaimana mensiasati KYD dan mencari alternatif pembelajaran yang tepat serta menemukan berbagai variasi metoda, dan variasi media untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
      Kegiatan ini dibawah koordinasi Wakasek Kutikulum dan untuk setiap mata pelajaran dipimpin oleh guru senior yang ditunjuk oleh Kepala  Sekolah. MGMP minimal bertemu satu kali perminggu guna menyusun strategi pengajaran dan mengatasi masalah yang muncul. Disamping itu MGMP sekolah dapat mengundang ahli dari luar, baik ahli substansi mata pelajaran untuk membantu guru dalam memahami materi yang masih dianggap sulit atau membantu memecahkan masalah yang muncul di kelas, maupun ahli metodologi untuk menemukan cara yang paling sesuai dalam memberikan materi pelajaran tertentu.
      MGMP juga dapat menyusun dan mengevaluasi perkembangan kemajuan belajar. Evaluasi kemajuan dilakukan secara berkala dan hasilnya digunakan untuk menyempurnakan rencana berikutnya. Kegiatan MGMP yang dilakukan dengan intensif, dapat dijadikan sebagai wahana pengembangan diri guru untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan guru serta menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang yang diajarkan.
      Melalui revitalisasi MGMP, diharapkan semua kesulitan dan permasalahan yang dihadapi oleh guru dan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar dapat dipecahkan, dan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah melalui peningkatan mutu pembelajaran (efective teaching).

3.      Meningkatkan Disiplin
      Rendahnya pendidik dan tenaga kependidikan baik dalam mengikuti aturan dan tata tertib sekolah, maupun dalam melakukan pekerjaannya sangat erat kaitannya dengan masalah disiplin. Oleh karena itu, dalam rangka penerapan KYD (pengembangan SKKD) diperlukan adanya peningkatan disiplin untuk menciptakan iklim sekolah yang lebih kondusif dan dapat memotivasi kerja, serta menciptakan budaya kerja dan budaya disiplin para pendidik dan tenaga kependidikan dalam melakukan tugasnya di sekolah.
      Sekolah membuat aturan-aturan yang harus ditaati, khususnya oleh warga sekolah, guru, peserta didik, karyawan dan kepala sekolah. Aturan tersebut meliputi tata tertib waktu masuk maupun pulang sekolah, kehadiran di sekolah dan di kelas serta proses pembelajaran yang sedang berlangsung, dan tata tertib sekolah lainnya. Dengan meningkatnya disiplin, diharapkan dapat meningkatkan efektivitas jam belajar sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan meningkatkan iklim belajar yang lebih kondusif untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan dan mencapai hasil belajar yang optimal.
      Meskipun demikian tidak dibenarkan MGMP melakukan hal-hal yang menyimpang atau diluar kewenangan mereka. Dengan alasan apapun, guru baik sebagai perorangan maupun dalam kelompok (MGMP) sebaiknya menghindarkan diri dari perbuatan dan tindakan tidak terpuji. Tindakan yang tidak terpuji tersebut misalnya menjadi Tim Sukses UN, dengan memberikan jawaban atau mengubah jawaban peserta didik yang heboh pada tahun 2006. Ini merupakan Dosa Besar, karena merugikan sebagian peserta didik, baik tindakan itu diketahui maupun tidak diketahui oleh peserta didik. Tindakan tersebut merupakan kebohongan nasional, yang akan merusak generasi bangsa. Mudah-mudahan hal tersebut tidak terulang di masa yang akan datang karena “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, bahkan peserta didik bisa mengencingi guru, kalau gurunya tidak terpuji.

4.      Membentuk Kelompok Diskusi Terbimbing
      Kelompok diskusi terbimbing dibentuk untuk mengatasi pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang disiplin dalam melakukan tugas-tugas sekolah. Kegiatan diskusi ini, dilakukan di sekolah minimal 1 kali per bulan. Pembentukan kelompok dilakukan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan dan dibimbing oleh kepala sekolah. Dalam kegiatan diskusi bisa melibatkan kepala sekolah, atau orang lain yang dianggap ahli dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh pendidik dan tenaga kependidikan sehubungan dengan tugas dan fungsinya.
      Untuk keperluan pengembangan materi pada MGMP, setiap guru pembimbing dapat menyampaikan hasil diskusi kelompok, sehingga tejradi saling tukar pengalaman dan saling membantu bila terjadi kesulitan. Kelompok diskusi terbimbing ini dibawah pengawasan kepala sekolah, khususnya untuk meningkatkan disiplin, motivasi serta membimbing pendidik dan tenaga kependidikan untuk menghindari pengaruh pergaulan sosial yang kurang baik.
      Jika dilakukan dengan serius, maka upaya yang dilaukukan dapat membuahkan hasil yang sangat memuaskan khususnya meningkatkan motivasi dan semangat kerja para pendidik dan tenaga kependidikan, dengan demikian upaya ini perlu dikembangkan dengan cara mencari model-model pembinaan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah.

5.      Meningkatkan Layanan Perpustakaan
      “Buku adalah sumber ilmu, membaca adalah kuncinya, dan perpustakaan adalah gudangnya”. Oleh karena itu, salah satu sarana peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan adalah tersedianya bahan pustaka yang dapat menunjang profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah. Pengembangan dan peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan akan sulit dilakukan jika tidak ditunjang oleh sumber belajar yang memadai. Pengadaan bahan pustaka diarahkan untuk mendukung kegiatan pembelajaran dalam memenuhi kebutuhan peserta didik dan guru akan materi pembelajaran. Disamping itu, untuk memperkaya bahan-bahan yang diperlulan pendidik dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya secara optimal.
      Pada umumnya sekolah masih memerlukan buku-buku bacaan wajib maupun penunjang untuk meningkatkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan dan mendukung kegiatan belajar peserta didik. Pengadaan buku pustaka diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, termasuk kegiatan MGMP sekolah dan mendukung belajar peserta didik. Untuk meningkatkan profesionalisme guru, diadakan buku-buku pegangan guru dari sumber yang relevan. Sedangkan untuk mendukung belajar peserta didik, diadakan buku-buku yang diperlukan untuk pendalaman materi ujian.
      Pengadaan koleksi perpustakaan dapat dimulai dengan melakukan identifikasi buku-buku yang diperlukan oleh guru dan peserta didik dan mencatat buku-buku yang tidak ada atau tidak mencukupi kebutuhan sekolah. Cara yang dapat dilakukan dalam memenuhi kekurangan buku-buku tersebut, antara lain dengan mengadakan kerjasama dengan perpustakaan pada instansi lain yang mempunyai potensi untuk membantu pengadaan buku sekolah atau membeli buku-buku tersebut secara langsung apabila tersedia dana untuk pengembangan perpustakaan.
      Disamping itu, perlu diupayakan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pengelola perpustakaan. Dalam peningkatan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, kepala sekolah harus memberikan kesempatan mengikuti pelatihan singkat bagi pengelola perpustakaan. Hal ini dipandang penting dalam peningkatan dan pengembangan perpustakaan untuk dapat menyediakan buku-buku yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan keperluan guru dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Dalam hal ini, sekolah juga harus berupaya untuk memperhatikan penyediaan anggaran perpustakaan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
      Berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya termasuk BP3, Komite sekolah dapat membuat rencana dan program untuk merealisasikan rencana dan mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
      Pada umumnya rencana yang dibuat telah menjelaskan aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun orang tua peserta didik, baik secara moral maupun finansial untuk menerapkan KYD.

6.      Memanfaatkan Teknologi Informasi
      Salah satu ciri era globalisasi adalah pesatnya arus informasi melalui berbagai alat teknologi seperti telepon, radio, televisi, teleconference sampai dengan satelit, dan internet. Kehadiran teknologi ini perlu dimanfaatkan oleh duniaa pendidikan dalam upaya pemerataan kesempatan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi pendidikan. Teknologi informasi dilakukan dengan mengoptimalkan pendayagunaan kepakaran untuk mengatasi kesulitan jangkauan kewilayahan dalam melakukan layanan pendidikan. Pemanfaatan teknologi informasi perlu dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif antara lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai pihak yang memiliki akses pada teknologi komunikasi.
      Teknologi informasi dapat memberikan bantuan untuk kegiatan sosialisasi pengembangan dan penerapan kurikulum, memperluas daya jangkau pembelajaran, sumber belajar, dan pengembangan jaringan kerjasama (networking) dalam penyelenggaraan sistem pembelajaran.

7.      Mengadakan Perubahan di Kelas
      Kelas merupakan kawah candradimuka, bagi  peserta didik di sekolah. Sebagian besar pembelajaran berlangsung di kelas. Oleh karena itu untuk menyukseskan kurikulum, serta mengembangkan SKKD, dituntut untuk mengadakan perubahan di kelas. Kelas harus merupakan tempat yang menyenangkan bagi peserta didik untuk belajar dan mengembangkan potensinya. Kelas harus mampu memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan peserta didik.


Jumat, 23 Desember 2016

Perspektif Global dalam Pendidikan Sosial dan Budaya



Perspektif Global dalam Pendidikan Sosial dan Budaya

      Perspektif Global memiliki sifat terbuka dan menerima pembaharuan global dengan menyeleksi perubahan  yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Dalam bidang sosial dan budaya, dampak globalisasi sangatlah berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, diantaranya  :
  1. Meningkatnya individualisme, yaitu hilangnya rasa gotong royong dan rasa simpati pada sesama. Meningkatnya individualisme dikarenakan adanya paham Barat yang dirasa cocok pada kepribadiannya.
  2. Perubahan  pola kerja, yaitu banyak perusahaan-perusahaan yang menggunakan kerja kontrak pada pegawainya. Sehingga jika masa kontraknya berakhir maka akan sulit mencari pekerjaan kembali.
  3. Terjadinya pergeseran nilai kehidupan dalam masyarakat, yaitu banyak nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia yang hilang dikarenakan terpengaruh oleh kehidupan-kehidupan masyarakat ala Barat yaitu paham individualisme.
  4. Kalangan generasi muda banyak yang seperti kehilangan jati dirinya. Mereka berlomba-lomba meniru gaya hidup ala Barat yang tidak cocok jika diterapkan di Indonesia.
      Namun disisi lain globalisasi juga dapat mempercepat perubahan pola kehidupan bangsa. Misalnya melahirkan pranata-pranata atau lembaga-lembaga sosial baru seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi dan pasar modal  Perkembangan pakaian, seni dan ilmu pengetahuan turut meramaikan kehidupan bermasyarakat..
      Oleh sebab itu peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun harus diprioritaskan. Sebab kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup di masa depan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah dengan pengelolaan pendidikan dengan wawasan global. Perspektif global merupakan pandangan yang timbul dari kesadaran bahwa dalam kehidupan ini segala sesuatu selalu berkaitan dengan isu global. Orang sudah tidak memungkinkan lagi bisa mengisolasi diri dari pengaruh global. Manusia merupakan bagian dari pergerakan dunia, oleh karena itu harus memperhatikan kepentingan sesama warga dunia.
      Tujuan umum pengetahuan tentang perspektif global dalam pendidikan sosial budaya adalah selain untuk menambah wawasan juga untuk menghindarkan diri dari cara berpikir sempit, terkotak-kotak oleh batas-batas subyektif, primordial (lokalitas seperti perbedaan warna kulit, ras, nasionalisme yang sempit dan seterusnya.
      Dengan demikian pentingnya (urgensi) wawasan perspektif global dalam pengelolaan pendidikan ialah sebagai langkah upaya dalam peningkatan mutu pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan seperti yang telah dituliskan sebelumnya, dengan wawasan perspektif global kita dapat berfikir rasional dan lebih berkembang.  Kita dapat melihat sistem pendidikan di negara lain yang telah maju dan berkembang. Serta dapat membandingkannya dengan pendidikan di negara kita, mana yang dapat diterapkan dan mana yang sekedar untuk diketahui saja. Kita bisa mencontoh sistem pendidikan yang baik di negara lain selama hal itu tidak bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia.  Tentu kita masih ingat, dulu ketika Malaysia mengimpor guru-guru dari Indonesia untuk mendidik anak-anak mereka. Namun kini justru Malaysia lah yang lebih maju pendidikannya dari negara kita. Apa yang salah? Kalau boleh dikatakan, bahwa mereka mau belajar dan mempelajari serta terus meningkatkan kualitas pendidikan mereka.
      Dengan demikian wawasan berspektif global sangatlah penting dalam pengelolaan pendidikan. Penerapan pengelolaan pendidikan dengan wawasan berperspektif global di Indonesia.
  
  Isu Pendidikan Nilai Moral di Beberapa Negara
      Berikut  ini akan dibahas isu pendidikan nilai moral yang terjadi di empat (4) negara yaitu Indonesia, Malaysia, India dan Cina. Empat negara itu dapat mewakili karakteristik bangsa dengan latar belakang ideologi yang berbeda. Indonesia merupakan negara Pancasila yang mayoritas Islam, India merupakan negara federal yang tetap mempertahankan nilai-nilai agama sebagai nilai universal. Malaysia merupakan negara yang memiliki bangsa mayoritas Islam sebagaimana negara Indonesia, sedangkan Cina merupakan perwakilan negara sosialis komunis.
      Uraian singkat ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa karakteristik keempat negara itu berbeda, khususnya jika dilihat berdasarkan ideologinya karena perbedaan ideologi itu diantaranya berpengaruh terhadap sistem pendidikan nilai.
  1. Indonesia
      Pendidikan nilai di Indonesia disadari atau tidak, masih belum banyak menyentuh pemberdayaan dan pencerahan kesadaran dalam perspektif global. Persoalan pembenahan pendidikan masih terpaku pada kurikulum nasional dan lokal yang belum pernah tuntas. Menurut Sudarminta (dikutip S. Belen, 2004 : 9). Praktik yang terjadi mengenai sistem pendidikan nasional era Orde Baru (Orba) terutama pendidikan nilai hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Dicontohkan bagaimana Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Agama, dua jenis mata pelajaran tata nilai yang ternyata tidak berhasil menanamkan sejumlah nilai moral dan humanisme ke dalam pusat kesadaran siswa.
      Hasil penelitian Afiyah dkk (2003), menyatakan bahwa kelemahan pendidikan agama antara lain terjadi karena materi Pendidikan Agama Islam termasuk bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan pembentukan sikap (afekti) dan pembiasaan (psikomotorik) sangat minim. Dengan kata lain, pendidikan agama lebih didominasi oleh transfer ilmu pengetahuan agama dan lebih banyak bersifat hafalan tekstual, sehingga kurang menyentuh aspek sosial mengenai ajaran hidup yang toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa.  
  1. India
      Pendidikan nilai di India tampak lebih populer dibandingkan dengan di negara lain. Dalam pendidikan nasional India, pendidikan nilai dikembangkan sebagai usaha untuk meningkatkan kesadaran nilai ilmiah, sosial, dan kewarganegaraan yang tidak secara khusus dikembangkan melalui satu sudut pandangan agama. Ini tidak berarti mengabaikan pentingnya pendidikan agama sebagai kekuatan dalam membangun karakter bangsa, melainkan untuk menempatkan pendidikan nilai dalam konteks pemahaman nilai agama yang universal (Mulyana, 2004 : 230). Bagi sekolah swasta baik dalam komunitas Kristen maupun Islam, nilai agama menjadi prioritas pengembangan nilai. Berbeda halnya sekolah negeri, agama ditempatkan pada area nilai-nilai yang mengandung kebenaran untuk semua pihak. Ruang lingkup pendidikan nilai meliputi (a) pendekatan dan metodologi pendidikan nilai pada tingkat dasar dan menengah, (b) untuk tingkat dasar program lebih dititikberatkan pada pengidentifikasian nilai-nilai yang perlu ditanamkan kepada siswa dengan strategi dan teknik yang tepat, (c) pengembangan konseling melalui pendekatan agama, (d) program pengembangan afektif bagi para instruktur pelatihan guru.
  1. Malaysia
      Pendidikan nilai dilakukan di sekolah dasar dan pengembangannya dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung pendidikan nilai diajarkan melalui pendidikan moral dan mata pelajaran agama, sedangkan pendidikan nilai yang tidak secara langsung dikembangkan melalui sejumlah mata pelajaran lainnya, seperti program pendidikan kewarganegaraan dan melalui kegiatan kokurikuler. Silabus pendidikan nilai untuk sekolah dasar berupa kebersihan badan dan pikiran, empati, sikap tidak berlebihan, bersyukur, rajin, jujur, adil, kasih sayang, hormat, keharmonisan sosial, kesederhanaan, dan kebebasan meski cukup konsinten dalam mengembangkan nilai, moral, norma, etika, estetika melalui pendidikan fomal, sistem pendidikan di Malaysia masih dihadapkan pada beberapa kendala diantaranya (a) nilai masih banyak diajarkan melalui pendekatan pembelajaran yang preskriptif, sehingga kurang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih dan menentukan nilai (b) alat evaluasi yang sesuai  dengan kebutuhan, khususnya untuk mengembangkan teknik-teknik pengamatan perilaku, belum  terjabarkan dengan jelas (c) cara-cara pencatatan dan pelaporan pembelajaran nilai masih belum dilakukan secara konsisten oleh guru dan (d) pandangan guru, orang tua, dan masyarakat masih menempatkan kognisi sebagai aspek yang lebih penting daripada aspek afeksi (Mulyana, 2004:237).       
  1. Cina
      Dalam tradisi Cina, pendidikan memiliki hubungan erat dengan kewajiban moral. Tradisi ini menempatkan pendidikan nilai sebagai bagian penting dalam peraturan pendidikan. Walaupun demikian, dalam perkembangannya pendidikan nilai dihadapkan pada beberapa tantangan berikut. Harapan masyarakat dan orang tua siswa akan kemampuan akademik yang kemudian berakibat tergesernya pengembangan sentimental, perasaan dan moralitas. Walaupun sekolah memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengembangkan kepribadian siswa, hal itu kurang didukung oleh kerjasama yang erat antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Banyak guru yang kurang memiliki kemampuan untuk mengembangkan pendidikan nilai. Di beberapa sekolah dijumpai adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang benar-benar terjadi dalam proses pendidikan.

      Untuk mengatasi berbagai persoalan diatas, pemerintah Cina mengambil beberapa kebijakan berikut. Pertama, pendidikan moral dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dasar dan diajarkan sekali dalam seminggu. Kedua, sejumlah peraturan telah disusun dan disebar luaskan untuk menjamin terjadinya pembentukan kebiasaan, sikap, dan cara hidup siswa yang diharapkan. Wujudnya tata tertib perilaku anak usia sekolah dasar, dan tata tertib anak usia sekolah menengah. Ketiga, untuk memobilisasi dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan moral di sekolah, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan resmi akan pentingnya pengembangan moral dan afeksi anak usia sekolah dasar.